Menanggapi pendapat sejumlah pengamat yang menggelisahkan kurikulum 2013,
Mendikbud, Muhammad Nuh. Menulis opini di Kompas (7/3), dalam telaahnya. Ia
menganjurkan agar mereka yang kontra kembali mengkaji ulang UU Sisdiknas.
Karena melalui regulasi itulah rancangan kurikulum berbasis kompetensi mendesak
untuk diterapkan.
Pada paragraf terakhir opini bapak Menteri, ia menuliskan: Kurikulum 2013
adalah kurikulum basis komptensi yang pernah digagas dalam rintisan kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) 2004, tetapi belum terselesaikan karena desakan untuk
segera mengimplementasikan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006.
Rumusannya berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum
berbasis materi sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang
bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya
kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu, ada
baiknya memahami lebih dahulu konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai
koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas sebelum mengkritik.
Perbedaan batu pijakan inilah yang saya kira melahirkan kerunyaman dalam
menduga kurikulum 2013. Runyam di sini menunjukkan benturan antara pola pikir
struktural dan sosiologis. Mendikbud berdiri pada corak struktural dan yang
kontra di garis sosiologis. Namun, dari posisi manapun melihat kurikulum 2013,
saya kira hubungan guru dan murid masih berada antara subyek dan obyek.
Asumsi yang demikian saya kira masih menguat, mengingat penerapan KBK hingga
KTSP masih sering kita dapati tindakan kekerasan yang menimpa murid. Jika
kurikulum 2013 ini hanyalah kelanjutan dari KBK sebagaimana penjelasan
Mendikbud, maka pengulangan pengalaman antara relasi guru dan murid tentulah
tak jauh berbeda, dan hal lain yang saya kira belum berubah di bawah atap
gedung sekolah, ialah arogansi guru yang terjebak pada profesionalisme dan
perilaku hormat murid yang palsu.
Mengapa hal tersebut terjadi, Paulo Freire (2002) memberikan penjelasan kalau
guru dan murid terjebak dalam keterasingan sistem yang mengakibatkan
masing-masing pihak melanggengkan dehumanisasi. Sekolah sebagai institusi
sosial yang seharusnya menjadi wahana dalam menemukan dan mengembangkan
pengetahuan, tereduksi menjadi ruang yang sempit, media untuk mendominasi, dan
melegalkan kekerasan. Itulah kemudian, siswa dikebut untuk mengejar angka-angka
untuk dikatakan pintar dan bisa lulus sesuai standar yang telah ditetapkan.
Lulusan Sekolah
Tak disangkali memang jika muatan pendidikan di sekolah masih menitikberatkan
pada penguatan keahlian (psycomotoric domain), siswa diarahkan untuk menguasai
suatu keahlian yang nantinya dapat mengisi ruang kerja. Sebatas itulah sekolah
memperlakukan peserta didik, membekalinya kemampuan menguasai benda-benda
seraya menapikan pertumbuhan jiwanya.
Karena kurikulum 2013 hanyalah baju baru dari KBK, maka peserta didik akan
ditempatkan dalam rel kemudian disemangati untuk berlomba mengejar impian
pribadi agar kelak dikatakan sukses. Ya, sukses adalah kata kunci untuk menyatakan
kemampuan menjawab tuntutan hidup dan barometernya ditunjukkan dengan
penguasaan benda-benda. Jadi, visi pendidikan yang coba ditawarkan melalui
kurikulum, ialah sebuah kompetisi bagi peserta didik untuk mengejar impian
dunia konsumtif. Mulanya meniti tangga dalam dunia pendidikan untuk dibekali
keahlian, lalu mengisi ruang kerja industry, kemudian menjadi mapan dengan
fasilitas gaji serta sejumlah tunjangan. Sesudahnya membekali diri dengan
kepemilikan benda-benda, dan episode terkahir pensiun dengan warisan buat anak
cucu.
Konsep hidup yang demikian sebenarnya ciri utama rancangan kebudayaan
globalisasi, di mana entitas manusia dijebak ke dalam pola hidup apatis,
manusia menjadi abai pada persoalan sosial, lingkungan, dan politik. Mereka
menganggap kalau manusia harus berlomba menjadi manusia unggul sebagaimana
diktum modernisme, cerminan ini sudah bisa kita lihat dengan kedangkalan pola
pikir para lulusan sekolah yang menjadi buta pada persolaan publik. Karena di
sekolah memang tak pernah dibekali untuk berfikir analisis yang mampu
mengkaitkan titik-titik persolan yang menguak.
Situasi Klise
Pada situasi di ataslah sekolah telah melakukan pengkhiatan tanggung jawab
terhadap peserta didik, karena telah mengingkari tujuan dari institusi sekolah
itu sendiri yang seharusnya membekali pula kecakapan emosional (spiritual) dan
tidak sekadar member porsi pada keahlian fisik. Memang ada anomali yang terus
dirawat seiring berubahnya segala perangkat yang dijejalkan terhadap sistem
pendidikan.
Kurikulum hanyalah situasi klise yang akan terus berulang di masa mendatang,
karena perancangannya memang tidak visioner sehingga sangat dimungkinkan
menjadi masalah itu tersendiri. Kita bisa menebak bahwa akan muncul
ketidaksiapan guru dalam mengimplementasikan muatan kurikulum tersebut, dengan
demikian perubahan yang diharapkan mustahil dicapai.
Jika sudah demikian, maka situasi yang akan berlangsung di ruang kelas sama
saja dengan peristiwa di masa lalu. Guru tetap terjebak pada sikap
profesionalisme yang baku dan murid melakoni pseudo pemberi hormat, karena
memang tidak ada kemerdekaan di antaranya. Sulit sekali menemukan kreatifitas
dan inovasi dalam proses pembelajaran, karena apabila ada guru yang mencoba
menerapkan atau merancang metodologi pembelajaran yang tak sesuai dengan
koridor yang telah ditetapkan, seketika itu pula guru yang bersangkutan dicap
sebagai guru yang kontroversial. Hal yang sama berlaku bila ada siswa yang
mengajukan tanya yang melebihi muatan pelajaran, maka siswa tersebut dianggap
pemberontak.
Sepanjang penerapan kurikulum sejak 1947 hingga 2006, saya kira kemerdekaan
guru dan siswa masih terpasung. Hubungan kedua komponen ini masih sering
berseteru sebagai musuh, keduanya saling membangun prisai untuk melindungi
kelemahan dan menutup dialog. Mungkin inilah gejala sebuah ungkapan purba kalau
guru kencing berdiri maka murid akan kencing berlari, siapa yang berani
menegur, tentu tidak ada. Kalaupun ada, maka siswa tersebut akan mendapat
hukuman dan rapornya berwana merah. Seperti inikah yang kita inginkan dalam
dunia pendidikan di negeri ini?***
URL : http://smktajirah.blogspot.com/2013/03/guru-kencing-berdiri-murid-seharusnya.html